Jumaat, 26 November 2010

Seksanya Menahan Dahaga


Penulis terkenal kebangsaan Mesir yang bernama Mustafa Amin, dimana beliau adalah salah satu yang dijebloskan ke dalam penjara di masa pemerintahan Gamal Abdul Naser pada tahun 1965, menceritakan kisahnya saat berada di dalam penjara.

Ia berkata, “Di antara bentuk penganiayaan yang ditetapkan pemerintah pada saat itu adalah melarang penghuni penjara makan dan minum. Larangan untuk makan sangatlah menyakitkan, walaupun masih memungkinkan untuk bertahan, akan tetapi haus adalah siksaan yang tidak mungkin bisa ditanggung, khususnya di bulan-bulan musim panas dengan derajat panas yang tinggi sekali,Selain itu saya mempunyai penyakit gula, yang mengharuskan saya banyak minum.

Di hari pertama pelarangan ini, saya masuk kamar kecil, di sana saya mendapatkan tempat air yang berisi air untuk istinja’, kemudian saya minum air tersebut sampai habis, dan sebagai ganti untuk istinja’, saya gunakan tissu toilet.

Dengan semakin bertambahnya rasa hausku, saya terpaksa minum air kencing. Sampai di hari ketiga, saya tidak mendapatkan air kencing untuk saya minum.
Saya sangat haus, saya merasakan siksaan yang sangat pedih. Kemudian, saya berjalan-jalan di dalam sel saya sehingga nampak seperti orang gila. Lidah dan tenggorokan saya kering.

Terkadang saya menunduk ke lantai dengan harapan semoga sipir penjara terlupa dan menyisakan setetes air ketika mereka mengepel lantai!!
Setelah itu saya merasakan bahwa saya hampir binasa, dalam kondisi seperti itu saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan,

saya kuras pikiranku, sampai saya terhuyung-huyung, ketika itu aku malihat bahwa pintu sel dibuka dengan perlahan-lahan, dan dalam kegelapan saya perhatikan ada tangan seseorang mengulurkan segelas air dingin. Saya tergoncang, terbayang seolah-olah aku telah gila?

Aku mulai melihat bayangan orang itu, ah … tidak mungkin ini air … ini hanyalah fatamorgana. Kemudian, saya ulurkan tangan dan saya benar-benar menyentuh gelas tersebut, ternyata sedingin es. Saya melihat pembawa gelas tadi meletakkan jarinya di atas bibirnya, seolah-olah ia berkata kepada saya, ‘Janganlah kamu bicara’.

Saya minum air tersebut, akan tetapi ia sangat berbeda dengan air yang pernah saya minum selama ini, ia adalah air yang paling nikmat yang pernah saya minum di dalam kehidupan saya sebelumnya. Kalau seandainya pada waktu itu aku memegang uang satu juta pound (junaih), niscaya aku berikan kepada sipir yang tidak kukenal ini.

Minum air segelas tersebut membuat ruh saya seakan kembali ke tubuh dan tidak perlu lagi makan karena kenyang. Bahkan, lebih dari itu, aku merasa tidak perlu dikeluarkan dari penjara. Saya merasakan kebahagiaan yang belum pernaha saya rasakan selama hidup saya, semua itu disebabkan segelas air yang dingin.

Setelah itu, sipir pergi dengan cepat seperti kedatangannya tadi dan menutup pintu sel dengan perlahan. Saya melihat bayangan sipir, ia adalah pemuda yang berkulit coklat dan berbadan pendek. Akan tetapi, saya merasakan ia seperti malaikat. Saya melihat langsung pertolongan ALlah di sel penjara.

Hari yang penuh siksaan terus berjalan, tanpa pernah lagi melihat sipir yang tidak saya kenal itu. Kemudian, saya dipindahkan ke ruangan penyiksaan di lantai dasar penjara. Setiap hari melihat sipir yang tidak saya kenal itu berdiri di hadapan saya.

Ketika itu saya hanya berdua. Saya bertanya dengan perlahan-lahan kepadanya, ‘Kenapa engkau lakukan perbuatan itu? Kalau mereka mengetahuinya tentu memecatmu’.

Dengan menyunggingkan senyum, ia menjawab, ‘Hanya memecat saya!? Bahkan, mereka akan membunuh saya dengan menembakkan senjata?’

Saya bertanya, ‘Apa yang membuatmu melakukan hal yang berbahaya itu?
Ia menjawab, ‘Sesungguhnya saya mengenal anda, namun anda tidak mengenal saya. Kira-kira 9 tahun yang lalu, seorang petani dari Giza mengirim surat kepada anda,

yang isinya menceritakan bahwa ia adalah seorang petani yang tinggal di sebuah perkampungan, dalam hidupnya ia sangat menginginkan membeli seekor sapi. Akan tetapi, setelah 6 bulan sapi yang berhasil dibelinya tersebut mati. Beberapa bulan setelah itu, yakni pada malam-malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan,

tiba-tiba pintu rumah yang sempit kepunyaan petani itu diketuk, dan datanglah utusan dari harian koran anda, Akhbarul Yaum, sambil memegang tali yang mengikat seekor sapi di belakangnya. Ketika itu koran harian Akbarul Yaum selalu mewujudkan beratus-ratus impian para pembacanya di malam-malam Lailatul Qadar di setiap tahunnya’.

Sipir itu terdiam sebentar, kemudian ia berkata, ‘Petani yang telah Anda kirimi seekor sapi kepadanya 9 tahun yang lalu adalah ayahku’.
Bukankah telah aku katakan kepada kalian tadi bahwa pertolongan Allah menyertaiku saat aku di dalam sel penjara?!

Demikianlah perbuatan baik yang telah dilakukan seorang penulis sejak 9 tahun yang lalu terhadap seorang petani telah membuahkan hasil dan bisa menyelamatkan hidup sang penulis (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala). Segelas air di saat-saat ujian yang berat sekali lebih berharga dan lebih nikmat dari segala yang ada didunia.

Oleh karena itu, jadikanlah dalam beramal ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.

Menginfakkan harta di jalan kebaikan, pasti akan mendapatkan balasan walaupun setelah lama berlalu masanya. Terkadang balasan perbuatan baik itu akan berlipat ganda. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah: 272, yang artinya:

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Janganlah kamu membelanjakan sesuatu, melainkan karena mencari keridhaan Allah.

Apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan)."