Khamis, 11 November 2010

Puisi untuh AYAH...

AYAH

Sedalam laut, seluas langit
cinta selalu tak bisa diukur
begitulah ayah mengurai waktu
meneteskan keringat dan rindunya
untukku


Saya tengah rehat sore saat saya menerima puisi ini. Pada waktu itu saya sudah dua pekan berada di Hilversum, Belanda. Kangen pada orang rumah, iya. Tapi puisi ini yang membuat saya berderai air mata.

Sejak Faiz dalam kandungan, saya tak pernah punya banyak waktu bersamanya. Saya memang kerap mengajak janin Faiz bercakap-cakap, membacakan ayat-ayat Qur’an, tapi Bunda-nyalah yang melakukannya lebih sering.
Tak heran jika Faiz, dalam banyak hal, dekat dengan Bundanya. Bundanya pula yang pertama kali ‘menangkap’ kalimat-kalimat puitis dari balita Faiz.
Tapi beranjak besar, Faiz mulai lebih banyak berpaling pada saya. Dia mulai banyak bertanya tentang aneka hal, sering tak kenal waktu dan tempat. Dia juga mulai gemar berolahraga serta bergiat di luar ruangan. Dia merasa ayahnya bisa memenuhi kebutuhannya soal ini.
II
Ayah pergi sangat pagi
kadang sampai pagi lagi
tapi saat pulang
ia tak lupa menjinjing pelangi
lalu dengan sabar
menguraikan warnanya
satu persatu padaku
dengan mata berbinar
Sebagai wartawan televisi, saya punya jam kerja yang tak lazim. Saya pergi saat orang lain pulang. Saya pulang saat orang lain pergi.
Korban pertama adalah Faiz. Dia tidak menjumpai saya sebagaimana sebagian besar anak-anak lain menjumpai ayahnya. Mereka umumnya punya ayah yang bekerja teratur, dari Senin sampai Jum’at, masuk pukul 08.30 pulang pukul 16.30.
Tapi Faiz cerdik. Dia tidur sebelum saya pulang. Dan bangun saat mendengar taksi yang membawa saya pulang, tiba. Saat saya membuka pintu kamar, dengan berseri dia mulai membombardir saya dengan aneka pertanyaan.
“Ayah, benua Atlantis itu ada dimana sih? Bener gak benua ini ada?”
“Ayah, Plato itu siapa?”
“Ayah, kalau anak kecil main filem orang dewasa, boleh gak dia nonton filem yang dia perankan?”
Dan Faiz bukanlah anak yang cepat puas. Di setiap ujung jawaban saya, pertanyaan berikutnya sudah meluncur. Bukan pekerjaan mudah menjawab berondongan pertanyaan-pertanyaan ini, di tengah malam, saat badan dan otak sudah letih didera pekerjaan sepanjang hari. Belum lagi saya harus menyederhanakan jawaban saya agar bisa ia cerna. Bersyukur saya bekerja sebagai wartawan, sehingga saya punya banyak kesempatan untuk belajar tentang banyak hal.
Tapi saya menikmatinya. Saya beruntung punya anak yang banyak bertanya, karena dengan demikian saya bisa menjelaskan banyak hal padanya.
Saya selalu ingat nasehat sahabat saya Santi Soekanto, “Jawablah pertanyaan anak kecil, sebagaimana kita menjawab pada orang dewasa karena mereka punya kecerdasannya sendiri.” Santi menuliskannya dalam sebuah artikel di harian the Jakarta Post yang saya baca saat Faiz masih dalam kandungan.
Saya sering merasa sedih manakala menemukan anak-anak kecil dengan rasa ingin tahu yang luar biasa, tapi tak ditanggapi dengan layak oleh orang tua, kakak atau bahkan guru-gurunya. Mereka dianggap cerewet dan karena itu selalu disuruh diam atau diberi jawaban, ”Pokoknya…”
III
Waktu memang tak akrab
denganku dan ayah
tapi di dalam buku gambarku
tak pernah ada duka atau badai
hanya sederet sketsa
tentang aku, ayah dan tawa
yang selalu bersama
 
Bagian ketiga ini yang membuat saya pilu. Saya tak menyangka bisa menemukan empati dan pengertian dari seorang anak berusia delapan tahun pada ayahnya. Dia pantas memprotes dan menggugat saya karena tak pernah punya waktu yang cukup bersamanya. Tapi dia memilih untuk memahaminya. Dia memilih untuk mengenang saat-saat terbaiknya bersama saya.
Tiap kali membaca bagian ini, air mata saya selalu berderai. Termasuk di ruang komputer di tempat pelatihan saya di Belanda.
Seorang kawan wanita dari Iran sampai bersikeras meminta terjemahan puisi ini dalam bahasa Inggris karena dia bingung melihat saya selalu menitikkan air mata tiap kali membacanya. Padahal sehari-hari, saya lebih dikenal sebagai orang yang dingin, tak punya emosi. Seorang kawan lain dari Indonesia mengirim pesan pada kawan-kawan saya di Jakarta, “Kalo loe mo lihat seorang Tomi menangis, suruh dia baca puisi dari anaknya. Seumur hidup gue belum pernah gue lihat Tomi nangis kayak gitu.”
Maafkan Ayah, ya mas Faiz.. Insya Allah kita akan menemukan waktu-waktu kita bersama, menggambar sketsa-sketsa kehidupan kita bersama, sampai saatnya engkau meniti jalan hidupmu sendiri, sebagaimana yang Allah Ta’ala sudah gariskan.
 (Tomi Satryatomo)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan